Hosting Unlimited Indonesia

Aceh, Pandemi dan “Keangkuhan”

 Oleh: Khairil Miswar 

Sumber: militairespectator.nl


Bireuen, 27 Juni 2020


Tidak lama setelah kemunculannya pertama kali di Wuhan, China – Covid-19 yang kemudian lebih populer dengan Corona, karena pengucapannya yang lunak –segera saja menjadi pandemi global, yang kemudian mencabik-cabik stabilitas politik, tatanan ekonomi dan tentunya dunia kesehatan yang kehabisan daya. Perkembangan sains dan teknologi kesehatan yang selama ini telah mengangkat derajat manusia modern ternyata sama sekali tak berdaya di hadapan kekuasan Tuhan yang dalam sekejap saja mengguncang penduduk bumi yang merupakan partikel terkecil di jagat raya. Kekuatan “kecil” yang coba ditunjukkan Tuhan ini telah mengubah semuanya sekaligus mempertegas bahwa kita hanyalah debu-debu tak berdaya.

Italia dengan fasilitas kesehatan yang kononnya terbaik di dunia tampak terhempas dalam pusaran pandemi. Dokter dan perawat kewalahan dengan jumlah pasien yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Demikian pula dengan Amerika Serikat, negara adidaya, super power dan terkuat di dunia pun terlihat kocar-kacir bagai anak ayam kehilangan induk. Tidak cukup dengan pandemi, beberapa waktu lalu Amerika juga mengalami goncangan politik akibat demonstrasi anti rasialisme yang berujung pada penjarahan dan kerusuhan. Kata orang-orang di warung kopi, kali ini, "Amerika is dead."

Indonesia dengan kualitas kesehatan satu digit di bawah “dunia perdukunan” di mana fasilitas kesehatan teramat minim juga tidak terbebas dari ancaman pandemi yang semakin menggila. Sampai dengan 22 Agustus 2020, kasus infeksi Covid-19 di negara ini berada pada angka 151.598  kasus dengan 205.198 kesembuhan dan 6.594 kematian. Menyikapi hal ini Pemerintah Jokowi telah melakukan berbagai upaya, mulai dari physical distancing sampai pembatasan sosial berskala besar, namun usaha ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Terakhir, pemerintah telah “menyerah” dan melakukan “ijtihad” ulang untuk kemudian memutuskan menerapkan New Normal, di mana aktivitas publik akan kembali seperti biasa dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Aceh 

Sampai dengan Juni 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di Aceh hanya 20 orang dan hanya tersisa 1 pasien yang masih dirawat, sementara 18 orang sembuh dan 1 orang meninggal dunia. Kondisi ini sempat memosisikan Aceh sebagai salah satu wilayah dengan kasus terendah di Indonesia. Hebatnya lagi, beberapa waktu lalu, Juru Bicara Pemerintah Pusat untuk Covid-19, telah mengeluarkan statemen “mengharukan” bahwa Aceh bisa menjadi contoh alias prototipe dalam melawan pandemi. Segera saja pujian ini mendapat respons positif dari sebagian masyarakat Aceh dengan histeria yang sulit digambarkan.

Sebelumnya, Pemerintah Aceh di bawah kendali Plt. Gubernur telah mencoba melakukan beberapa upaya untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19, di antaranya dengan memberlakukan jam malam yang kemudian usai mendapat “protes” publik langsung dicabut kembali. Pemerintah Aceh juga sempat mewacanakan pembagian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak yang kemudian juga mendapat kritik sebagian publik. Bahkan sampai detik ini Plt Gubenur Aceh masih terus disorot akibat berbagai “ketimpangan” kinerja aparatur.

Beberapa waktu lalu, kasus leumo pijuet (lembu kelaparan) di Saree telah sukses menjadi trending topik di musim pandemi. Dan baru-baru ini kebijakan stiker BBM dari Plt Gubernur juga telah membuat publik kebingungan.

Sementara itu, di masa pandemi, sebagian besar masyarakat Aceh masih melakukan aktivitas seperti biasa. Secara umum keramaian tetap saja berlangsung. Warung kopi tetap ramai pengunjung, kecuali di wilayah perkotaan yang sempat sepi beberapa waktu dan kemudian ramai kembali. Demikian pula masjid dan menasah tetap saja penuh. Walaupun saat itu ada anjuran untuk mengurangi aktivitas di masjid, namun sebagian besar masyarakat Aceh dengan ijtihad mandiri plus “kesalehan dadakan” dengan “mentah-mentah” menolak untuk beribadah di rumah dengan alasan hal itu adalah misi Yahudi untuk mengosongkan masjid. Kondisi ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa “teori konspirasi” terkait Covid-19 yang sempat heboh di jagat maya telah diresapi dengan sangat serius oleh sebagian masyarakat tanoh endatu tanpa mencoba melakukan verifikasi faktual.

Keangkuhan

“Aceh tidak pernah kalah dalam perang. Saat tsunami tidak ada masjid yang rusak. Demikian juga dengan wabah kali ini Aceh tetap aman. Jangan sekali-kali mengajarkan orang Aceh soal agama dan cara melawan ta’eun (wabah). Kita punya cara sendiri. Lihat saja bagaimana daerah lain kacau-balau dengan wabah, tapi Aceh tetap diberkati Tuhan,” demikian kira-kira sepotong isi khutbab Jumat di sebuah tempat baru-baru ini yang sempat saya ingat dan kemudian catat.

Narasi-narasi kebanggaan semacam ini tentunya bukan saja mengalir deras di forum-forum keagamaan seperti khutbah atau pengajian, tapi juga senantiasa meladak meletup di meja kedai-kedai kopi di Aceh. Ada keyakinan dalam benak sebagian masyarakat bahwa Aceh teramat istimewa sehingga segala bentuk keramaian yang terjadi selama ini sama sekali tidak berdampak pada terbentuknya transmisi lokal penyebaran Covid-19. Akhirnya narasi kebanggaan ini bergerak berevolusi dan lalu bermuara menjadi “keangkuhan khas Aceh” yang akan terus diulang-ulang di masa depan, bahkan ketika nantinya pandemi berakhir.

Tidak adanya penambahan kasus positif Covid-19 beberapa waktu lalu adalah fakta empiris paling aktual yang kemudian ditafsirkan dengan ragam interpretasi, mulai dari aspek sosial politik, sisi ekonomi, soal ras, religiusitas, pola hidup sampai rempah makanan yang lalu melahirkan konklusi bahwa imunitas orang Aceh sangat kuat sehingga bisa terbebas dari paparan virus. Kesimpulan ini oleh sebagian masyarakat diterima dengan gegap-gempita dan euforia – bahwa wabah sama sekali kalah pamor dengan kekuatan imun orang Aceh – tanpa pernah mengingat bahwa Sultan Mahmud Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu mangkat setelah terkena wabah Kolera yang dibawa tentara kolonial.

Hal ini menujukkan bahwa orang Aceh memiliki kepercayaan diri yang lumayan tinggi sehingga semua ancaman menjadi enteng belaka. Kepercayaan diri berlebihan yang lebih dekat kepada “keangkuhan” ini nantinya akan berdampak pada hilangnya kewaspadaan akan bahaya yang mengintai di masa depan. Italia – sebagai contoh, telah membuktikan hal ini, di mana mereka meremehkan wabah di masa-masa awal dan kemudian menuai hasil yang menyedihkan.

Demikian juga dengan Amerika Serikat, di mana saat itu Presiden Trump pernah berkelakar bahwa kasus positif di negara itu akan segera turun ke angka nol, namun fakta yang terjadi justru sebaliknya, kasus meledak begitu cepat bagai api memakan dedaunan kering.

Tumbuhnya “keangkuhan” yang saat ini mengidap sebagian orang Aceh memang tidak terjadi dengan sendirinya, tapi dibentuk secara sistematis. Dalam hal ini fakta empiris tidak adanya penambahan kasus telah dijadikan sebagai argumen utama yang kemudian mendapat legitimasi dari oknum ahli-ahli agama yang sebagiannya justru menafikan “Fiqh Wabah.” Legitimasi religius inilah yang kemudian memperkokoh keyakinan sebagian masyarakat Aceh bahwa wabah adalah nonsense atau bahkan bullshit.

Kondisi ini adalah sebuah ironi. Padahal Aceh telah melakukan fomalisasi Syariat Islam yang kemudian melahirkan berbagai qanun, tapi ternyata masih lemah dalam aspek kemaslahatan umat, khususnya “Fiqh Wabah” yang seharusnya menjadi pedoman umat Islam di Aceh dalam menghadapi pandemi. Fiqh Wabah dimaksud bukanlah untuk menebar kepanikan, tapi untuk memosisikan diri secara seimbang antara kepanikan dan kewaspadaan sehingga mampu melihat masalah secara rasional dan tidak emosional.

Sebagai penutup, baru-baru ini kasus positif Covid-19 di Aceh mengalami penambahan dalam waktu cepat dari sebelumnya hanya 20 orang, saat ini telah mencapai 1.210 kasus positif dan tidak tertutup kemungkinan akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan. Nah, melihat kondisi ini, masihkah kita mempertahankan “keangkuhan” dan menafikan “Fiqh Wabah?” Wallahul Musta’an.

Aceh, Pandemi dan “Keangkuhan” Aceh, Pandemi dan “Keangkuhan” Reviewed by Khairil Miswar on 4:56 PM Rating: 5

No comments:

Hosting Unlimited Indonesia
Powered by Blogger.