Hosting Unlimited Indonesia

Rasialisme Amerika di Tengah Pandemi

Oleh: Khairil Miswar 


Sumber: vaticannews


Bireuen, 03 Juni 2020

Menyimak perkembangan terkini, tampaknya pandemi Covid-19 bakal berlangsung lama, setidaknya akan memakan waktu dua tahun seperti dikemukakan beberapa ahli. Dimulai dari Wuhan, China, kemudian menyebar ke seluruh dunia, tak terkecuali negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Italia adalah negara Eropa pertama yang mengalami serangan dahsyat pandemi yang kemudian melahirkan kegelisahan di seluruh dunia.  Artikel yang ditulis Marco Pavesi, seorang dokter ahli anestesi di Milan, Italia di The New York Times pada Maret lalu sudah cukup menggambarkan bagaimana menderitanya Italia yang disebut-sebut sebagai negara dengan fasilitas kesehatan terbaik di dunia.

Negara Eropa lainnya yang turut mengalami serangan parah di antaranya Spanyol. Fernando Simon, Direktur Kesehatan Darurat Spanyol, sebagaimana dikutip The New York Times, menyebut Spanyol berada dalam situasi yang sulit dijelaskan, di mana tenaga medis tampak kewalahan dengan peralatan yang minim sehingga mereka juga harus membuat prioritas pasien mana yang mesti dirawat. Akibat korban yang terus bertambah, beberapa waktu lalu Spanyol sebagaimana dirilis The Guardian terpaksa meminta bantuan dari Uni Eropa untuk menghadapi pandemi yang kian parah. Kondisi hampir serupa juga terjadi di Inggris, Jerman, Rusia dan bahkan Brasil.

Amerika Serikat yang pada awalnya bersikap dingin menyikapi pandemi akhirnya juga kewalahan dengan terinfeksinya ratusan ribu warga mereka. Padahal jauh sebelumnya, ketika pandemi sedang hebat-hebatnya di Italia, beberapa analis telah memperingatkan Presiden Trump terkait ancaman pandemi, namun presiden kontroversial itu cenderung meremehkan dengan menyebut covid-19 sama dengan flu biasa.

Terkait penyebaran pandemi di Amerika, sebelumnya, Ed Yong, telah membuat ulasan menarik di The Atlantic. Dia menjelaskan bagaimana kondisi Amerika, negara besar, kaya dan maju tapi gagal menghentikan penyebaran virus sehingga rumah sakit mulai penuh dan peralatan medis tidak mencukupi. Bahkan beberapa dokter dan perawat juga terinfeksi. Dia juga mengkritisi Presiden Trump yang saat itu tampak mengecilkan masalah dengan menyebut Amerika sudah terkendali dan kasus akan turun mendekati nol. Namun faktanya tidak demikian.

Saat ini, Amerika Serikat menduduki posisi pertama sebagai negara dengan korban covid-19 tertinggi di dunia, meninggalkan China dan Italia. Sampai dengan 1 Juni sebagaimana dilansir sejumlah media, jumlah warga yang terinfeksi di negara itu telah mendekati angka dua juta pasien dengan rata-rata penambahan kasus mencapai 20 ribu orang perhari.

Rasialisme

Di tengah gemuruh pandemi yang belum pulih, baru-baru ini Amerika Serikat kembali dilanda masalah baru; “wabah rasialisme” yang juga menjadi musuh utama bagi kemanusiaan. Seperti dilansir sejumlah media luar negeri seperti The New York Times, The Washington Post dan Al-Arabiya, seorang opsir polisi berkulit putih di negara itu telah melakukan tindakan brutal yang menewaskan George Flyod, seorang warga Amerika berkulit hitam. Dari video yang beredar terlihat jelas bagaimana si opsir polisi tersebut menekan lututnya di leher Floyd sampai akhirnya dia tewas kehabisan napas. Bahkan polisi dimaksud mengabaikan ratapan Floyd yang saat itu telah kritis.

Akibat aksi brutal tersebut, aksi protes pun meledak di Amerika Serikat. Isu rasialisme kembali mengemuka menghantam negeri Paman Sam itu yang sepanjang sejarahnya mengklaim negaranya sebagai pelopor humanisme bagi dunia. Demonstrasi akhirnya terus meluas dan menyebar di hampir seluruh kota-kota penting seperti New York, Washington, St. Louis, Chicago dan beberapa negara bagian lainnya. Bahkan informasi terkini menyebut gerakan demonstrasi telah diiringi dengan aksi penjarahan di banyak kota. Akibatnya beberapa kota semisal New York, seperti dicatat Al-Arabiya, terpaksa memberlakukan jam malam untuk meminimalisasi aksi protes atas kematian Floyd.

Kemarahan publik Amerika semakin memuncak pasca keluarnya hasil autopsi resmi dari pemerintah setempat yang menyebut kematian Floyd disebabkan oleh penyakit jantung coroner dan tekanan darah tinggi, bukan karena kehabisan napas. Hasil ini berbeda dengan autopsi yang dilakukan pihak keluarga, di mana dokter memutuskan bahwa kematian Floyd disebabkan karena terpotongnya udara ke otak akibat tekanan di leher oleh polisi. Uniknya, pihak kepolisian setempat juga menetapkan Derek Chauvin, “si pembunuh” dengan dakwaan pembunuhan tidak sengaja.

Dalam kondisi demikian, Presiden Trump sebagaimana dilansir The Washington Post justru mengancam akan mengerahkan pasukan federal untuk memadamkan demonstrasi. Pernyataan ini kemudian mendapat respons dan kecaman dari Kongres Demokrat yang disuarakan oleh Uni Kebebasan Sipil Amerika. Tidak hanya itu, kekacauan juga semakin meruncing, di mana pada 2 Juni sebuah sedan hitam dikabarkan menabrak seorang petugas polisi di New York. Kejadian serupa juga terjadi di Bufallo, di mana dua orang polisi juga ditabrak saat terjadi konfrontasi dengan massa.

Informasi terbaru, Negara Bagian Minnesota dikabarkan mengajukan keluhan Hak Asasi Manusia terhadap Departemen Kepolisian atas kematian Floyd. Bahkan menurut komisi penyelidikan, dalam beberapa dekade terakhir Departemen Kepolisian di daerah itu juga pernah melakukan aksi brutal terhadap orang Afrika-Amerika dan minoritas lainnya.

Apa yang terjadi di Amerika saat ini semakin mempertegas, bahwa negara itu masih belum selesai dengan persoalan rasialisme yang merupakan musuh kemanusiaan, khususnya di abad modern. Kejadian itu juga semakin memperjelas bagaimana wajah Amerika sebenarnya yang selama ini mengampanyekan diri sebagai negara paling beradab, paling demokratis dan paling humanis – sehingga merasa berkepentingan untuk mendikte negara-negara lain di Asia dan Timur Tengah.

Di bawah kepemimpinan Trump saat ini Amerika tampak semakin lunglai. Dimulai dari soal-soal politik, serangan pandemi, turunnya harga minyak dan meledaknya demonstrasi. Dan kita tidak tahu sampai kapan Amerika akan bertahan.

Rasialisme Amerika di Tengah Pandemi Rasialisme Amerika di Tengah Pandemi Reviewed by Khairil Miswar on 6:51 PM Rating: 5

No comments:

Hosting Unlimited Indonesia
Powered by Blogger.