Hosting Unlimited Indonesia

Aceh Tidak Toleran?

Sumber: arabnews.com

Baru-baru ini Kementerian Agama RI telah merilis indeks kerukunan umat beragama tahun 2019. Seperti diberitakan kompas.com, indeks kerukunan umat beragama di Indonesia untuk tahun 2019 menduduki angka 73,83. Rilis tersebut mendudukkan Papua Barat sebagai provinsi dengan indeks toleransi paling tinggi di Indonesia dengan capaian angka 80. Ada pun provinsi Aceh yang masyarakatnya dikenal religius harus puas pada posisi terendah dengan nilai 60 dan berada di bawah indeks rata-rata nasional.


Meskipun telah dilakukan perangkingan sedemikian rupa berdasarkan perolehan angka, namun Ketua Tim Survei Balitbang Kemenag RI, sebagaimana dikutip kompas.com menyimpulkan bahwa semua daerah termasuk dalam kategori rukun dan toleran. Bahkan menurut Kemenag, indeks kerukunan tahun 2019 lebih meningkat dibanding tahun sebelumnya. Di antara indikator penilaian yang dijadikan acuan oleh Kemenag dalam survei ini adalah aspek toleransi.
Toleransi di Aceh
Sampai saat ini mungkin Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang telah melakukan formalisasi syariat Islam. Dalam konteks historis gagasan formalisasi ini tentunya memiliki akar sejarah yang panjang, di mana sejak masa lampau Aceh sudah dikenal sebagai daerah religius. Keberadaan kerajaan Islam di panggung sejarah Aceh masa lalu seolah memberi legitimasi bahwa formalisasi syariat Islam di daerah ini adalah kebutuhan paling urgen.
Pasca runtuhnya Kerajaan Aceh akibat perang panjang melawan kolonial, estafet perjuangan kemudian dilanjutkan oleh kaum agama di bawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro. Selanjutnya, pasca berakhirnya kepemimpinan politik oleh trah Tiro, kepemimpinan politik di Aceh juga kembali dipegang oleh kaum agama. Gerakan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di bawah pimpinan Dawud Beureueh adalah gerakan modern pertama di Aceh menjelang kemerdekaan yang dikendalikan kaum agama.
Di awal-awal kemerdekaan, PUSA di bawah kontrol Dawud Beureueh melakukan transformasi gerakan dengan memproklamirkan perlawanan kepada Jakarta melalui Darul Islam yang disambut meriah oleh hampir semua kompenen masyarakat Aceh. Salah satu isu yang digelorakan PUSA kala itu adalah penegakan syariat Islam di Tanah Rencong dan sekaligus penolakan terhadap ideologi Pancasila.
Meskipun isu syariat Islam memiliki akar sejarah yang panjang di Aceh, namun hampir tidak ditemukan adanya catatan terkait sikap intoleransi masyarakat Aceh terhadap pemeluk agama lain, baik pada masa Kerajaan Aceh, maupun pada masa-masa modern yang dipenuhi oleh rentetan konflik politik. Jika pun sikap intoleransi itu ada, seperti “tragedi Singkil” beberapa tahun lalu, maka kejadian itu tak ubahnya seperti buih di lautan yang sama sekali tidak mengganggu hubungan baik antar umat beragama di Aceh.
Harmonisnya kehidupan antar umat beragama di Aceh juga dapat dilihat dari kenyamanan yang dirasakan oleh penganut-penganut agama lain. Sejauh ini belum ditemukan adanya ketegangan berarti antar pemeluk agama di Aceh. Bahkan para penganut agama minoritas nyaris tidak pernah melontarkan protes atas dominasi umat Islam di Aceh.
Konflik Intra-Agama
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa umat Islam di Aceh sangat toleran terhadap pemeluk agama lain sehingga keberatan sebagian masyarakat Aceh atas hasil survei Kementerian Agama tentunya dapat dimengerti. Bukan tidak mungkin pula, ketidakpercayaan sebagian masyarakat Aceh atas hasil survei Kemenag secara tidak langsung juga disebabkan oleh sikap Menteri Agama yang selama ini sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, meskipun survei itu sendiri telah dilakukan sebelum menteri baru dilantik.
Namun demikian, terlepas dari hasil survei tersebut – yang diyakini sebagai kajian akademik, jika dicermati dengan saksama, persoalan toleransi di Aceh memang perlu mendapat perhatian. Meskipun masyarakat Aceh sangat toleran terhadap pemeluk agama lain, namun terkait dengan hubungan intra-agama (antar pemeluk dalam satu agama) persoalan toleransi memang patut dipertanyakan. Dalam hal ini, sebagian oknum masyarakat Aceh memang “tidak toleran” terhadap saudara-saudara mereka yang seiman.
Kenyataan ini bukanlah hal baru di Aceh, tapi juga memiliki akar sejarah yang panjang. Persaingan antara Kaum Tua (tradisional) dan Kaum Muda (modern) yang terjadi di masa lalu masih terus lestari hingga saat ini. Pengaruh dayah (kaum tradisional) yang begitu menghegemonik di Aceh selalu saja menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan kelompok agama yang diidentifikasi sebagai “berbeda” dari pandangan mainstream seperti para sarjana dari perguruan tinggi, ormas Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Salafi yang saat ini sedang marak-maraknya berkembang di Aceh.
Beberapa fakta terkait sikap intoleransi ini dapat dilihat dari aksi pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di beberapa daerah di Aceh yang sempat memicu ketegangan antar pihak. Demikian pula dengan aksi-aksi pembubaran pengajian komunitas Salafi yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam hal ini terkesan adanya upaya “dominasi” dari sebagian okum masyarakat yang mengafiliasikan dirinya dengan dayah guna meneguhkan entitas mereka sebagai satu-satunya otoritas kebenaran di Aceh.
Di samping itu, keberadaan oknum-oknum komunitas Salafi yang sering “menyudutkan” tradisi beragama kaum dayah juga semakin menambah kerumitan tersendiri sehingga bangunan toleransi pun menjadi retak dan kemudian bermuara pada ketegangan-ketegangan yang hingga kini tak pernah terselesaikan dengan baik. Dalam hal ini kedua pihak yang saling berbeda penafsiran tampak belum bisa berdamai. Dengan demikian potensi “konflik” intra-agama di Aceh pun semakin terbuka lebar.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat toleran terhadap pemeluk agama lain di mana kerukunan antar umat dapat terus berlangsung hingga kini dan dalam waktu bersamaan sebagian masyarakat Aceh justru terkesan “tidak toleran” terhadap saudara-saudara seiman yang notabene satu agama. Dengan demikian, hasil survei Kemenag terkait kerukunan antar umat yang memosisikan Aceh pada urutan paling bawah cenderung keliru atau setidak-tidaknya kurang tepat. Berbeda halnya jika hasil survei tersebut dimaksudkan dalam hal kerukunan intra-agama, bisa jadi hasilnya benar atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran.
Bireuen, 16 Desember 2019

Aceh Tidak Toleran? Aceh Tidak Toleran? Reviewed by Khairil Miswar on 5:10 AM Rating: 5

Post Comments

No comments:

Powered by Blogger.