Hosting Unlimited Indonesia

Agama Warisan, Kebebasan Berekspresi dan Persekusi


Sumber: thepostil.com
Sepakat tidak sepakat, akhir-akhir ini stabilitas sosial di Indonesia semakin terusik dengan munculnya berbagai sikap yang merusak keberagaman. Sikap anti keberagaman ini semakin marak dan tersebar luas via media sosial. Disadari atau pun tidak, kondisi ini, telah mengakibatkan retaknya hubungan sosial antar kelompok masyarakat di Indonesia. Dalam jangka panjang, situasi semacam ini akan mengantarkan kita pada tercitpanya disharmonasasi berkepanjangan.


Para founding father di masa lalu telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara nasional tempat hidupnya berbagai agama, suku bangsa, adat istiadat dan budaya. Keberagaman ini terikat dengan rapi dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Dan kebhinekaan ini telah menemani perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Dengan demikian, siapa saja yang merusak keberagaman ini harus “dilawan”, karena ia telah mengkhianati cita-cita para pendiri negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, pondasi keberagaman ini telah goncang dengan munculnya sikap intoleran dari kalangan tertentu. Isu agama pun telah dijadikan alat oleh sebagian pihak untuk menjustifikasi berbagai tindakan tak patut yang pada hakikatnya bertentangan dengan ajaran agama mana pun.
Goncangnya stabilitas sosial di Indonesia akhir-akhir ini telah memunculkan berbagai sikap apologetik, gerakan massa yang agresif dan kebebasan berekspresi yang salah kaprah. Sikap apologetik di antaranya muncul melalui isu agama warisan yang baru-baru ini dipopulerkan kembali oleh seorang siswi di media sosial. Sementara gerakan massa agresif dapat kita saksikan dengan maraknya tindakan persekusi yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Kekacauan sosial lainnya muncul akibat kebebasan berekspresi yang telah keluar dari substanasi kebebasan itu sendiri.
Agama Warisan
Afi Nihaya, siswi SMA Banyuwangi, baru-baru ini telah sukses menghebohkan jagad maya dengan status facebooknya tentang agama warisan. Dalam statusnya, Afi Nihaya mencoba melemparkan wacana tentang ketidakmampuan manusia menentukan agamanya. Menurut Afi, agama yang kita anut hanyalah warisan yang didapat secara kebetulan.
Kesimpulan yang dibuat gadis muda ini kemudian ditanggapi secara kontroversial oleh masyarakat Indonesia. Sebagian kalangan menyatakan dukungannya dan bahkan Afi pun dipuja layaknya dewa yang akan menyelamatkan keberagaman di Indonesia. Sebagian kalangan lainnya justru merasa gerah dengan pernyataan Afi yang dianggap tidak memahami makna keberagaman.
Menyikapi pernyataan Afi, seorang pemuda asal Sukabumi, Gilang Kazuya Shimura mencoba mementahkan argumen Afi dengan menggunakan pendekatan teologi normatif. Dalam tanggapannya, Gilang menguraikan berbagai dalil dari Alquran dan Hadits guna menepis kekeliruan Afi Nihaya. Tanggapan dari Gilang ini tentunya tidak akan bisa diterima oleh Afi dan para pengagumnya.
Dalam menulis statusnya, Afi menggunakan pendekatan sosiologis dan mencoba menawarkan gagasan pluralisme agama, di mana semua agama berpeluang benar. Sementara Gilang dalam bantahannya justru menggunakan pendekatan teologi normatif yang tentunya bertolak belakang dengan wacana sosiologis dan ide pluralisme agama. Tentunya sangat sulit mencari titik temu antara pendekatan teologis yang digunakan Gilang dengan wacana sosiologis yang ditawarkan Afi.
Belum lagi debat wacana ini selesai, Afi pun disebut-sebut melakukan tindakan plagiarisme terhadap tulisan Mita Handayani. Akhirnya aksi bullying pun dimulai. Dan Afi menjadi bulan-bulanan dari orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Pada prinsipnya kita tentu sepakat bahwa tindakan plagiarisme sama sekali tidak dapat dibenarkan. Namun demikian, melakukan aksi bully terhadap seorang siswi yang masih dalam tahap belajar juga tidak bijak.
Terlepas dari dugaan plagiarisme, penulis melihat Afi hanyalah korban dari “rekayasa sosial” yang didesain oleh pihak tertentu. Artinya, posisi Afi sebagai seorang siswi diprediksi akan melemahkan daya penolakan dari pihak-pihak berseberangan. Menjadikan Afi sebagai aktor (tumbal) adalah cara paling aman guna menyebarkan gagasan-gagasan anti mainstream. Dan jika asumsi ini benar, maka para “desainer” telah mengeksploitasi Afi demi kepentingan pragmatis pihak tertentu.
Kebebasan Berekspresi
Sementara itu, media sosial telah berhasil menghapus skat-skat sosial yang lazim kita temui di alam nyata. Sosok terpelajar dan sosok “terkebelakang” menjadi setara dalam peradaban media sosial, di mana kedua sosok ini dengan santai bisa saling beradu argumen. Sebuah kondisi yang sulit dan bahkan langka dalam kenyataan.
Di sisi lain, keberadaan media sosial telah memberi peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengekpresikan diri secara bebas dan bahkan tanpa batas. Wacana agama warisan yang dilontarkan Afi Nihaya juga sukses menjadi viral berkat dukungan media sosial. Apa yang disampaikan Afi sebenarnya bukanlah hal baru dan telah menjadi materi yang biasa-biasa saja dalam lingkungan akademik. Tetapi, ketika wacana tersebut dihembuskan via media sosial, maka kehebohan pun muncul.
Akhir-akhir ini, kebebasan berekspresi melalui media sosial telah mendobrak batas-batas kepatutan. Tidak peduli apakah ia seorang remaja, sosok dewasa atau pun tokoh-tokoh terkemuka sekali pu, sebagiannya telah terperosok dalam lubang kejahilan akibat tidak bijaknya sebagian mereka dalam berekspresi di media sosial. Akhirnya, hal-hal privat pun tak jarang menjadi viral melalui media sosial.
Aksi penghinaan, penodaan agama dan pelecehan terhadap kelompok tertentu juga kian mewabah melalui media sosial. Gerakan caci maki pun telah dianggap wajar bagi sebagian pengguna media sosial. Dan kebebasan berekspresi yang telah melampaui batas ini kemudian telah melahirkan aksi perburuan (persekusi) terhadap para pelakunya yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Akhirnya, aksi persekusi pun menjelma sebagai fenomena baru yang menghantui perjalanan bangsa Indonesia.
Persekusi
Dalam KBBI, kata “persekusi” dimaknai sebagai sebuah tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sekelompok orang. Aksi persekusi juga identik dengan tindakan menyakiti, menyiksa, menganiaya atau menumpas.
Beberapa media mengabarkan bahwa kasus persekusi selama ini juga melibatkan sejumlah oknum dari ormas tertentu dengan cara main hakim sendiri. Aksi persekusi yang cenderung bersifat intimidatif ini telah melahirkan ketakutan tersendiri dan bahkan trauma bagi pihak-pihak yang disasar.
Secara sosiologis, aksi persekusi ini muncul akibat lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku yang mengumbar permusuhan dan pelecehan di media sosial. Dalam negara hukum, tindakan persekusi ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Tindakan persekusi selain melanggar hukum juga telah memunculkan perilaku destruktif. Dalam beberapa kasus, aksi persekusi telah melahirkan ketegangan sosial. Jika tidak terkontrol, dalam kondisi tertentu, aksi persekusi ini akan menjelma menjadi “teror” baru bagi masyarakat.
Dalam menyikapi aksi ini, aparat negara memiliki tugas ganda. Pertama, melakukan penegakan hukum terhadap para “provokator” di media sosial. Kedua, menindak secara tegas para pelaku persekusi yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum. Dalam hal ini, negara harus benar-benar hadir sebagai penyelamat agar stabilitas sosial tidak terganggu.
Menutup tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk senantiasa merawat keberagaman yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Tugas merawat keberagaman ini adalah tanggung jawab kita bersama. Dan, gerakan merawat keberagaman tidak bisa dilakukan dengan cara menghilangkan perbedaan, tetapi dengan mengelola berbagai perbedaan agar menjadi kekuatan pemersatu guna memperkokoh persatuan bangsa.
Bireuen, 14 Juni 2017

Agama Warisan, Kebebasan Berekspresi dan Persekusi Agama Warisan, Kebebasan Berekspresi dan Persekusi Reviewed by Khairil Miswar on 5:12 AM Rating: 5

Post Comments

No comments:

Powered by Blogger.