Ada perasaan miris, sedih dan bahkan kesal ketika
saya membaca sebuah status facebook yang ditulis seorang netizen bernama
Budi Azhari. Dalam statusnya yang sempat viral dan bahkan mengguncang jagad
maya itu, Dia menceritakan sebuah pengalaman yang mungkin sangat menyakitkan
bagi mereka yang merasa senasib. Apa yang disampaikan Budi Azhari telah membuka
mata kita semua dan setelah saya membaca status tersebut berulang-ulang, saya pun
sampai pada satu kesimpulan bahwa Bank Aceh yang kononnya telah berlebel
syari’ah ternyata belum mampu memposisikan diri sebagai “sahabat” bagi
masyarakat Aceh. Dan bahkan, tidak ada perbedaan menonjol antara pola yang
dimainkan oleh Bank Aceh yang katanya telah syariah dengan bank-bank
konvensional.
Meskipun Budi Azhari hanya mencurahkan isi hatinya
dan tidak terlihat kata-kata protes dari status tersebut, tapi apa yang
diceritakan oleh Budi Azhari tentunya akan membuat setiap mata terbelalak
lebar, telinga mengembang dan jantung berdebar kencang, karena fakta-fakta itu
juga dialami oleh nasabah lain. Mungkin pihak Bank Aceh bisa berapologi bahwa
nasabah telah menandatangani perjanjian ketika mengajukan kredit, tapi harus
pula dipahami bahwa ketika mengajukan pinjaman, kondisi psikologis nasabah
dalam keadaan tertekan sehingga mereka memilih untuk menuruti saja agar
pinjaman dapat dicairkan. Seharusnya pihak bank memahami kondisi ini dan bukan
justru memanfaatkan “kemeralatan” nasabah untuk meraup keuntungan.
Sebagai seorang yang tidak paham mekanisme
perbankan, saya menilai Bank Aceh telah melakukan sebuah “kezaliman”, entah itu
disengaja atau tidak. Bayangkan, pinjaman 200.000.000,- yang telah diangsur
oleh nasabah selama hampir tiga tahun sejumlah 2.700.000, perbulan ternyata
sisanya masih saja membengkak, yaitu sejumlah 185 juta lebih sehingga si
nasabah menunda pelunasan. Melihat sisa hutang yang melambung ini, tentu tidak
hanya Budi Azhari – bahkan kita pun terkejut-kejut sambil mengurut dada. Niat
untuk melunasi dan membebaskan diri dari hutang pun kandas seketika.
Ada
Apa dengan Bank Aceh?
Bukankah Bank Aceh sudah dikonversi menjadi bank
syari’ah? Lantas di mana letak kesyari’ahan Bank Aceh jika dikontraskan dengan
pengalaman yang menimpa seorang nasabah seperti Budi Azhari – dan juga nasabah
lainnya? Bukankah syari’ah itu menyelamatkan? Lantas kenapa terkesan
“menindas”? Tentunya pertanyaan serupa ini harus dijawab Bank Aceh agar
masyarakat tercerdaskan sehingga mereka tidak salah ketika hendak berhubungan dengan
Bank Aceh. Saya yakin mayoritas masyarakat Aceh, khususnya nasabah, tidak
memahami bagaimana mekanisme syariah yang dijalankan oleh Bank Aceh selama ini.
Apakah substansi dari syari’ah itu sudah terimplementasi dengan baik, atau
masih sekedar simbol belaka guna menarik perhatian?
Semua pihak berhak kecewa melihat pola yang
dimainkan Bank Aceh selama ini yang notabene adalah satu-satunya bank
kebangaan daerah. Misi utama Bank Aceh adalah membantu
dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pengembangan dan pemberdayaan dunia
usaha serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Selain itu, Bank Aceh juga bercita-cita melakukan ekspansi kredit pada sektor
basis usaha-usaha yang produktif terutama untuk UMKM dan Micro finance serta
berupaya meningkatkan volume usaha dan kredit (bankaceh.co.id). Melihat misi dan cita-cita ini tentunya kita semua patut
berbahagia, tapi apakah misi ini sudah dijalankan dengan baik atau hanya
sekedar bualan?
Saya menilai, Bank Aceh belum
maksimal dalam melakukan pemberdayaan kepada para pengusaha kecil yang bergerak
dalam sektor produktif sehingga sebagian masyarakat memilih mengajukan pinjaman
ke bank lain yang dianggap lebih memiliki niat untuk membantu
mengembangkan usaha mereka. Untuk itu, kita semua tentu sepakat untuk mendorong
Bank Aceh agar terus berupaya dan bahkan bersungguh-sungguh dalam membantu
pengembangan usaha-usaha kecil yang dijalankan oleh masyarakat.
Sebagai warga negeri syariat, kita
juga harus terus mendorong manajemen Bank Aceh agar benar-benar serius dalam
mempraktikkan sistem perbankan syariah demi terciptanya maslahat bagi
masyarakat sehingga perekonomian daerah bisa meningkat sesuai tatanan syariah
itu sendiri. Artinya, syariah tidak hanya sekedar label demi kepentingan
marketing tapi substansi dari syariah justru terabaikan. Kita juga mendorong
agar pakar-pakar perbankan syariah, khususnya di Aceh, untuk terus mencurahkan
saran pikirannya agar terciptanya Bank Aceh yang benar-benar syariah.
Adapun terkait kasus yang menimpa
Budi Azhari – yang tentunya juga dialami oleh nasabah lainnya, khsusunya PNS,
kita berharap agar Bank Aceh melakukan tinjauan ulang atas kebijakannya selama
ini yang terkesan “memeras”, meskipun pola “pemerasan” tersebut mendapat
perlindungan hukum dan dibenarkan oleh aturan-aturan perbankan. Tegasnya,
pembiaayaan kredit untuk PNS sebisa mungkin persentase marginnya dapat
dikecilkan karena pembiayaan kredit untuk PNS memiliki resiko yang cenderung
kecil, dan bahkan tanpa resiko karena setoran kredit PNS secara otomatis
dipotong oleh bank setiap bulannya. Artinya, sangat tidak masuk akal ketika
Bank Aceh mematok keuntungan besar dari transaksi kredit PNS yang minus resiko.
Kita berharap konversi Bank Aceh menjadi Bank
Syariah yang katanya telah dilaksanakan pada tanggal 19 September 2016 secara
serentak pada seluruh jaringan kantor Bank Aceh dengan mengutip Ketentuan PBI Nomor
11/15/PBI/2009 dapat membawa dampak positif pada seluruh aspek kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat Aceh. Dengan menjadi Bank Syariah, Bank Aceh bisa
menjadi salah satu titik episentrum pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah
yang lebih optimal, sebagaimana hal ini merupakan cita-cita utama Bank Aceh.
Sebagai Bank yang sumber pendanaannya berasal dari Pemerintah Aceh yang notabene
adalah uang rakyat, maka sangat tidak patut bagi Bank Aceh untuk
mengecewakan rakyat Aceh. Bank Aceh adalah bank kita. Mari selamatkan Bank
Aceh! Wallahul Musta’an.
Bireuen, 31 Maret 2017
Bank Aceh Untuk Siapa?
Reviewed by Khairil Miswar
on
5:16 AM
Rating:

No comments: