Tanpa
terasa kita telah berada di akhir Ramadhan 1438 H. Saat ini kita telah memasuki
sepuluh malam terakhir, di mana kita dituntut “memperketat” ibadah agar bisa
“bertemu” dengan lailatul qadar. Beberapa riwayat menyebut malam lailatul
qadar adalah pada malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir. Lailatul
qadar adalah malam yang sangat diimpikan oleh setiap kaum muslimin yang
bertaqwa, sehingga patutlah kita berlomba-lomba untuk mendapatinya. Dalam
Alquran, Allah menyebut bahwa malam itu lebih baik dari seribu bulan, di mana
amalan yang dilakukan pada malam lailatul qadar akan dilipatgandakan
oleh Allah Swt.
Ramadhan
adalah bulan agung yang hanya ada satu kali dalam satu tahun (hijriah).
Jika kita diberi umur selama 60 tahun, maka kita akan mendapati 60 kali
Ramadhan. Umumnya, kita baru melaksanakan kewajiban syariat “secara serius”
pada usia 15 tahun. Dengan demikian, jika kita diberi usia 60 tahun, dikurangi
15 tahun, maka sisa umur yang kita gunakan untuk menjalankan kewajiban syariat
adalah 45 tahun. Jika dihubungkan dengan Ramadhan, berarti kita akan melewati
45 kali Ramadhan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah jika kita bisa
memaksimalkan ibadah selama 45 tahun tersebut, terlebih lagi jika kita mampu
memperbanyak amalan dalam 45 kali Ramadhan. Demikian pula sebaliknya, kerugian
besarlah jika kita menyia-nyiakan Ramadhan yang sangat “terbatas” itu.
Dalam
tinjauan syariat, ada dua hal penting yang kita lakukan dalam bulan Ramadhan. Pertama,
kita diwajibkan berpuasa di siang harinya. Kedua, kita dianjurkan untuk
memperbanyak ibadah di malam harinya, baik shalat (tarawih) maupun
membaca Alquran yang dikenal dengan tadarrus. Melalui media puasa, kita
diajarkan untuk menahan hawa nafsu, baik berupa makan minum maupun hubungan
suami-istri dan juga dari hal-hal lainnya yang dapat membatalkan ibadah puasa
tersebut. Demikian pula di malam harinya, kita dilatih untuk terbiasa melakukan
shalat malam dan membaca Alquran guna bertaqarrub kepada Allah. Alhasil,
pasca Ramadhan, kita diharapkan dapat memperoleh gelar Muttaqin – sebuah
gelar yang tidak disediakan di perguruan tinggi dan tak dapat pula diwarisi.
Dalam
konteks yang lebih luas, Ramadhan juga menjadi semacam “sekolah spritual”, di
mana ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari ibadah yang kita lakukan di
bulan tersebut. Ibadah puasa yang kita lakukan di siang hari telah memberikan
kesempatan kepada kita untuk belajar “menahan lapar”. Kita mungkin hanya
“menahan lapar” sebulan sekali, itu pun hanya beberapa jam (13-14 jam).
Hebatnya lagi, setelah “menahan lapar” beberapa jam, kita pun akan segera
berhadapan dengan beraneka macam makanan yang terhidang di meja makan. Kondisi
ini tentunya berbeda dengan saudara-saudara kita yang hidup dalam “kemiskinan”,
kekeringan dan peperangan di beberapa belahan dunia. Mereka bahkan ada yang
“berpuasa” sepanjang tahun, karena ketiadaan makanan. Ketika bulan Ramadhan
tiba, mereka justru bersahur dengan “setetes air” dan berbuka dengan “setetes
air” pula. Dengan demikian, patutlah kita bersyukur kepada Allah atas
karunia-Nya sehingga kita bisa berpuasa dan berbuka dengan “nyaman” tanpa
kendala yang berarti.
Melalui
media Ramadhan, semoga kita bisa tergerak hati untuk menolong saudara-saudara
kita yang selama ini hidup dalam kekurangan. Semoga saja kita bisa termotivasi
untuk membantu anak yatim, tidak hanya sebagai perintah agama, tetapi juga
sebagai satu kesadaran sosial dalam rangka meringankan penderitaan
saudara-saudara kita. Praktek membantu anak yatim dan fakir miskin tentunya
bukan hanya berlaku dalam bulan Ramadhan, tapi ia merupakan amalan yang bisa
dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Di
sisi lain, bulan Ramadhan juga bisa menjadi media bagi kita untuk saling
menguatkan ukhuwah Islamiyah. Di luar Ramadhan kita mungkin telah
tersibukkan dengan profesi masing-masing. Kita pergi pagi, pulang malam.
Jangankan ingin bercengkrama dengan masyarakat, untuk menegur tetangga saja
mungkin tak sempat, bahkan untuk menyapa istri saja kita lupa akibat rutinitas
yang sangat padat. Dengan demikian, sudah sepatutnya di bulan Ramadhan yang
penuh berkah ini kita saling membangun keakraban dengan istri, tetangga,
sanak-saudara dan masyarakat. Melalui media tarawih berjama’ah di mesjid dan menasah,
kita memiliki banyak kesempatan untuk saling bertatap muka dan bertegur sapa.
Sudah
semestinya media tarawih dapat mempersatukan kita sesama kaum muslimin,
bukan sebaliknya, justru menjadi ajang untuk saling “bermasam muka” dengan
perdebatan yang tidak penting. Terkadang shalat “100 rakaat” itu menjadi “tidak
penting” jika sesama saudara kita masih saling “menikam”. Sudah selayaknya
“perbedaan” menjadi modal bagi kita untuk bersatu, bukan justru menjadi alasan
untuk berseteru. Hal ini sebagaimana sudah ditegaskan oleh Allah dalam Alquran
(innamal mukminunna ikhwah…) dan juga seperti pesan Rasul, bahwa umat
Islam itu ibarat satu tubuh, ketika satu bagian merasa sakit, maka bagian tubuh
yang lain juga akan merasakan hal yang sama. Umat Islam itu juga ibarat
bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.
Di
bulan yang mulia ini kita juga disyariatkan untuk membayar zakat fitrah
(atau zakat fithri) kepada faqir-miskin, hal ini sebagaimana termaktub
dalam hadits: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’
gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi
anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin” (H.R. Bukhari). Yang
terpenting bagi kita bukan memperdebatkan bentuk zakat itu, apakah beras atau
pun uang dan selainnya, tetapi kesadaran kita untuk menunaikannya adalah lebih
penting. Jangan biarkan faqir-miskin menahan lapar di hari raya, di hari kita
dan anak-anak kita bersenda gurau.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak kita
semua untuk senantiasa berdoa dan beramal dengan ikhlas di bulan Ramadhan agar
kita bisa menjadi “sarjana-sarjana” Ramadhan yang mendapatkan gelar Muttaqin.
Wallahul Musta’an.
Bireuen, 16 Juni 2017
“Sarjana” Ramadhan
Reviewed by Khairil Miswar
on
5:23 AM
Rating:

No comments: