Hosting Unlimited Indonesia

“Sarjana” Ramadhan

Sumber: Islampos.com


Tanpa terasa kita telah berada di akhir Ramadhan 1438 H. Saat ini kita telah memasuki sepuluh malam terakhir, di mana kita dituntut “memperketat” ibadah agar bisa “bertemu” dengan lailatul qadar. Beberapa riwayat menyebut malam lailatul qadar adalah pada malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir. Lailatul qadar adalah malam yang sangat diimpikan oleh setiap kaum muslimin yang bertaqwa, sehingga patutlah kita berlomba-lomba untuk mendapatinya. Dalam Alquran, Allah menyebut bahwa malam itu lebih baik dari seribu bulan, di mana amalan yang dilakukan pada malam lailatul qadar akan dilipatgandakan oleh Allah Swt.


Ramadhan adalah bulan agung yang hanya ada satu kali dalam satu tahun (hijriah). Jika kita diberi umur selama 60 tahun, maka kita akan mendapati 60 kali Ramadhan. Umumnya, kita baru melaksanakan kewajiban syariat “secara serius” pada usia 15 tahun. Dengan demikian, jika kita diberi usia 60 tahun, dikurangi 15 tahun, maka sisa umur yang kita gunakan untuk menjalankan kewajiban syariat adalah 45 tahun. Jika dihubungkan dengan Ramadhan, berarti kita akan melewati 45 kali Ramadhan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah jika kita bisa memaksimalkan ibadah selama 45 tahun tersebut, terlebih lagi jika kita mampu memperbanyak amalan dalam 45 kali Ramadhan. Demikian pula sebaliknya, kerugian besarlah jika kita menyia-nyiakan Ramadhan yang sangat “terbatas” itu.
Dalam tinjauan syariat, ada dua hal penting yang kita lakukan dalam bulan Ramadhan. Pertama, kita diwajibkan berpuasa di siang harinya. Kedua, kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di malam harinya, baik shalat (tarawih) maupun membaca Alquran yang dikenal dengan tadarrus. Melalui media puasa, kita diajarkan untuk menahan hawa nafsu, baik berupa makan minum maupun hubungan suami-istri dan juga dari hal-hal lainnya yang dapat membatalkan ibadah puasa tersebut. Demikian pula di malam harinya, kita dilatih untuk terbiasa melakukan shalat malam dan membaca Alquran guna bertaqarrub kepada Allah. Alhasil, pasca Ramadhan, kita diharapkan dapat memperoleh gelar Muttaqin – sebuah gelar yang tidak disediakan di perguruan tinggi dan tak dapat pula diwarisi.
Dalam konteks yang lebih luas, Ramadhan juga menjadi semacam “sekolah spritual”, di mana ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari ibadah yang kita lakukan di bulan tersebut. Ibadah puasa yang kita lakukan di siang hari telah memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar “menahan lapar”. Kita mungkin hanya “menahan lapar” sebulan sekali, itu pun hanya beberapa jam (13-14 jam). Hebatnya lagi, setelah “menahan lapar” beberapa jam, kita pun akan segera berhadapan dengan beraneka macam makanan yang terhidang di meja makan. Kondisi ini tentunya berbeda dengan saudara-saudara kita yang hidup dalam “kemiskinan”, kekeringan dan peperangan di beberapa belahan dunia. Mereka bahkan ada yang “berpuasa” sepanjang tahun, karena ketiadaan makanan. Ketika bulan Ramadhan tiba, mereka justru bersahur dengan “setetes air” dan berbuka dengan “setetes air” pula. Dengan demikian, patutlah kita bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya sehingga kita bisa berpuasa dan berbuka dengan “nyaman” tanpa kendala yang berarti.
Melalui media Ramadhan, semoga kita bisa tergerak hati untuk menolong saudara-saudara kita yang selama ini hidup dalam kekurangan. Semoga saja kita bisa termotivasi untuk membantu anak yatim, tidak hanya sebagai perintah agama, tetapi juga sebagai satu kesadaran sosial dalam rangka meringankan penderitaan saudara-saudara kita. Praktek membantu anak yatim dan fakir miskin tentunya bukan hanya berlaku dalam bulan Ramadhan, tapi ia merupakan amalan yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.      
Di sisi lain, bulan Ramadhan juga bisa menjadi media bagi kita untuk saling menguatkan ukhuwah Islamiyah. Di luar Ramadhan kita mungkin telah tersibukkan dengan profesi masing-masing. Kita pergi pagi, pulang malam. Jangankan ingin bercengkrama dengan masyarakat, untuk menegur tetangga saja mungkin tak sempat, bahkan untuk menyapa istri saja kita lupa akibat rutinitas yang sangat padat. Dengan demikian, sudah sepatutnya di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini kita saling membangun keakraban dengan istri, tetangga, sanak-saudara dan masyarakat. Melalui media tarawih berjama’ah di mesjid dan menasah, kita memiliki banyak kesempatan untuk saling bertatap muka dan bertegur sapa.
Sudah semestinya media tarawih dapat mempersatukan kita sesama kaum muslimin, bukan sebaliknya, justru menjadi ajang untuk saling “bermasam muka” dengan perdebatan yang tidak penting. Terkadang shalat “100 rakaat” itu menjadi “tidak penting” jika sesama saudara kita masih saling “menikam”. Sudah selayaknya “perbedaan” menjadi modal bagi kita untuk bersatu, bukan justru menjadi alasan untuk berseteru. Hal ini sebagaimana sudah ditegaskan oleh Allah dalam Alquran (innamal mukminunna ikhwah…) dan juga seperti pesan Rasul, bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh, ketika satu bagian merasa sakit, maka bagian tubuh yang lain juga akan merasakan hal yang sama. Umat Islam itu juga ibarat bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.
Di bulan yang mulia ini kita juga disyariatkan untuk membayar zakat fitrah (atau zakat fithri) kepada faqir-miskin, hal ini sebagaimana termaktub dalam hadits: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin” (H.R. Bukhari). Yang terpenting bagi kita bukan memperdebatkan bentuk zakat itu, apakah beras atau pun uang dan selainnya, tetapi kesadaran kita untuk menunaikannya adalah lebih penting. Jangan biarkan faqir-miskin menahan lapar di hari raya, di hari kita dan anak-anak kita bersenda gurau.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk senantiasa berdoa dan beramal dengan ikhlas di bulan Ramadhan agar kita bisa menjadi “sarjana-sarjana” Ramadhan yang mendapatkan gelar Muttaqin. Wallahul Musta’an.
Bireuen, 16 Juni 2017
“Sarjana” Ramadhan “Sarjana” Ramadhan Reviewed by Khairil Miswar on 5:23 AM Rating: 5

Post Comments

No comments:

Powered by Blogger.