Hosting Unlimited Indonesia

Tradisi Ramadan bagi Orang Awam






Resensi Buku
Judul Buku      : Ramadan Orang Awam
Pengarang       : Hayatullah Pasee, Ihan Nurdin, Riazul Iqbal Marzuki
Penerbit           : Bandar Publishing
Cetakan           : 2019
ISBN               : 978-623-7081-89-0
Tebal Buku      : viii + 103 halaman
Harga Buku     : 50.000

Ramadan baru saja berlalu. Meskipun telah pergi, ia akan kembali menyapa di tahun-tahun selanjutnya sebagai bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Jika kita masih merindukannya, maka tugas kita sebagai muslim adalah berdoa agar bisa dipertemukan kembali dengannya di masa yang akan datang. Dan semoga Allah mengabulkan doa-doa kita.


Al-Qur‘an sebagai kitab suci umat Islam menjadi saksi akan keagungan Ramadan sebagai bulan yang paling mulia dari dua belas bulan yang beredar dalam kalender Hijriah. Kesaksian ini juga diterangkan dengan sangat jelas dalam hadits Nabi yang sahih. Informasi tersebut juga terus diulang-ulang oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka yang mu’tabar.
Sejauh ini sudah banyak sekali buku-buku yang ditulis dengan topik Ramadan ditinjau dari berbagai aspeknya. Di antara buku-buku dimaksud: Ceria Ramadan di Berbagai Benua (Ziyad Visi Media, 2019); Panduan Puasa Ramadan di Bawah Naungan Al-Qur‘an dan Sunnah (Pustaka As-Sunnah, 2010); Pelangi Ramadan (AG Publishing, 2012); dan Dahsyatnya Ramadan: Panduan Meraih Keutamaan di Bulan Suci (Darul Hikmah, 2011).
Sebagian dari buku-buku tersebut memuat materi tentang tatacara berpuasa dan kegiatan-kegiatan yang baik dilakukan saat Ramadan untuk menuai pahala dari Allah. Sementara sebagian lainnya adalah buku-buku yang memuat pengalaman dan cerita-cerita terkait Ramadan.
Ada pun buku “Ramadan Orang Awam” yang terbit pertengahan Ramadan lalu terlihat berbeda dari buku-buku lainnya dari segi konten. Seperti pengakuan penulisnya di Kata Pengantar, bahwa buku ini adalah tulisan-tulisan ringan yang mereka hasilkan pada Ramadan 1439 H (2018 M). Tulisan ini berasal dari artikel para penulis yang diposting di platform Steemit.com, sebuah media berbasis blockchain yang membayar penulisnya dengan cryptocurrency yang dapat dirupiahkan.
Buku ini ditulis oleh tiga penulis muda Aceh: Hayatullah Zuboidi yang menggunakan nama pena Hayatullah Pasee, bekerja sebagai praktisi humas di salah satu instansi Satuan Kerja Pemerintah Aceh. Dia aktif menulis di beberapa media sebagai penulis lepas; Ihan Nurdin dengan nama pena Ihan Sunrise saat ini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi AceHTrend, media online lokal yang sedang naik daun di Aceh; dan Riazul Iqbal dengan panggilan populer Rio, pemuda Pidie yang beberapa bulan sebelumnya pernah menerbitkan buku dengan judul “Sudah Kubilang Jangan Jadi Guru.”
Buku Ramadan Orang Awam yang diterbitkan Bandar Publishing, sebuah penerbit ternama di Aceh ini berisi kumpulan tulisan ringan terkait kenyataan-kenyataan sosiologis yang ditemui penulisnya dalam momen-momen Ramadan. Sebagian tulisan juga berasal dari pengalaman pribadi para penulis yang diramu dengan bahasa renyah.
Dalam buku ini, Hayatullah Pasee menyinggung kebiasaan sebagian masyarakat yang menjadikan bulan Ramadan sebagai ajang “festival kuliner” di mana mereka memosting berbagai jenis makanan di media sosial. Di bulan Ramadan, para penjual makanan juga memenuhi jalan-jalan kota sehingga penuh sesak. Kondisi ini membuat jalanan macet karena “festival kuliner” tersebut (hal. 10).
Ihan Nurdin mencatat pengalamannya tentang sosok seorang penjual ikan yang ditemuiya di pasar. Si penjual ikan yang tampak lelah tetap setia melayani pelangganya meskipun lututnya sudah tidak kuat berdiri. Itu semua dia lakukan demi memberi makan anak istrinya. Bulan Ramadan, dalam kondisi tetap berpuasa, tidak menghalangi si penjual ikan untuk bekerja keras (40). Kondisi ini tentunya berbeda dengan sebagian kita yang lebih memilih bermalas-malasan dengan alasan puasa.
Fenomena lainnya selama Ramadan juga dicatat Riazul Iqbal. Dia menulis: “Kalau malam, jemaah warung kopi lebih banyak  daripada jemaah masjid kecamatan” (67). Kondisi ini memang dapat kita saksikan di mana-mana, khususnya di Aceh. Bahkan ada beberapa warung kopi yang hanya tutup depannya saja di saat Salat Tarawih, tapi pintu belakang terbuka lebar untuk dimasuki para jamaah kedai kopi.
Beberapa bagian tulisan yang termuat dalam buku ini, di mana penggalan-penggalannya telah kita kutip, mencoba menggambarkan bagaimana orang-orang “awam” menghabiskan hari-harinya di bulan Ramadan. Bulan yang seharusnya dijadikan sebagai lahan menambah ibadah justru digunakan sebagai medium bagi kegiatan-kegiatan duniawi yang bukannya menyumbang pahala, tapi justru menyedot dosa tanpa disadari oleh pelakunya.
Sebagai sebuah kumpulan tulisan buku ini memiliki beberapa kelebihan. Selain disajikan dalam bahasa sederhana, buku ini juga tidak harus dibaca secara berurutan. Artinya para membaca dapat menikmati buku ini dengan cara berpindah-pindah halaman karena setiap tulisan berdiri sendiri secara mandiri. Namun begitu tulisan-tulisan dalam buku ini diikat oleh satu tema umum; tentang bagaimana orang awam menjalani Ramadan.
Sebagai sebuah karya manusia yang tak lepas dari cacat, baik disengaja atau pun tidak, buku ini pun memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan paling mencolok terletak pada kualitas percetakan dengan tinta yang terlihat pudar. Selain itu penyusunan tulisan dalam buku ini juga terlihat tidak padu karena pengklasifikasian tulisan merujuk pada sosok penulis yang dibagi pada tiga bab, di mana masing-masing penulis mengisi satu bab. Buku ini akan terlihat lebih padu jika klasifikasi tersebut didasarkan pada topik tulisan yang saling berkaitan, atau setidaknya berdekatan.
Ketidakpaduan ini di antaranya dapat ditemukan dalam tulisan “Bukan Bulan Festival Kuliner” yang ditulis Hayatullah (hal.9) dan tulisan “Buka Puasa Kita Mubazzir?” yang ditulis Riazul Iqbal (hal. 64). Seharusnya dua tulisan ini dapat disatukan, atau minimal disandingkan sehingga tidak ada rangkaian yang terputus.
Namun begitu, terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan, kehadiran buku ini layak diapresiasi guna membangkitkan semangat literasi di kalangan kaum muda. Semua karya tentu memiliki nilai sebab ia dilahirkan dari ketekunan dan keseriusan penulisnya. Jika pun ia tidak bernilai hari ini, bukan tidak mungkin sepuluh atau bahkan seratus tahun ke depan karya-karya itu akan diburu pembaca.
Bireuen, 07 Juli 2019


Tradisi Ramadan bagi Orang Awam Tradisi Ramadan bagi Orang Awam Reviewed by Khairil Miswar on 6:33 AM Rating: 5

Post Comments

No comments:

Powered by Blogger.